TikTok Akan Memberi Label Pada Konten Yang Dibuat Oleh AI
TikTok berencana untuk memberikan label pada konten-konten unggahan yang dibuat dengan menggunakan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan, dengan menggunakan watermark digital yang dikenal sebagai Content Credentials.
Para peneliti menyatakan kekhawatiran bahwa konten yang dihasilkan oleh AI dapat digunakan untuk mengganggu pemilu AS pada musim gugur ini, dan TikTok merupakan termasuk di antara 20 perusahaan teknologi yang awal tahun ini menandatangani perjanjian sebagai bentuk mendukungnya.
Perusahaan sudah memberi label pada konten buatan AI yang dibuat dengan tool pihak ketiga di dalam aplikasi, kebijakan ini juga berlaku untuk konten buatan AI yang dibuat di luar layanan (TikTok).
“Kami juga memiliki kebijakan yang melarang AI realistis yang tidak diberi label, jadi jika konten buatan AI yang tampil di platform, maka kami akan menghapusnya karena melanggar pedoman komunitas kami,” Adam Presser, kepala operasi, kepercayaan dan keselamatan di TikTok, dalam sebuah wawancara.
Teknologi Content Credentials dipelopori oleh Coalition for Content Provenance and Authenticity, sebuah grup yang didirikan bersama oleh Adobe, Microsoft, Dll., namun terbuka untuk perusahaan lain yang ingin menggunakannya.
Teknologi ini sudah diadopsi oleh pembuat ChatGPT yaitu OpenAI, YouTube, oleh Alphabet Google, dan Meta Platforms yang memiliki Instagram dan Facebook, mereka mengatakan akan berencana menggunakan teknologi Content Credentials.
Agar sistem dapat berfungsi, tool AI yang digunakan untuk membuat konten pada platform yang digunakan untuk mendistribusikan konten, maka harus menyetujui kebijakan standar industri.
Jika konten tersebut diunggah ke TikTok, maka secara otomatis akan diberi label sebagai buatan AI.
TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance Tiongkok, memiliki 170 juta pengguna di AS, yang baru-baru ini mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan ByteDance untuk mendivestasi TikTok, atau menghadapi larangan.
TikTok dan ByteDance telah menggugat untuk memblokir undang-undang tersebut, dengan alasan bahwa undang-undang tersebut melanggar Amandemen Pertama.